Malam 1 januari lalu, bagi jamaah maiyah Purworejo adalah momen spesial. Tidak terasa Jamaah Maiyah Purworejo sudah berusia 5 tahun. Tapi, perayaannya sangat jauh dari hiruk-pikuk. Tidak ada mercon. Tidak mendaki ke puncak gunung yang kini seramai pasar. Tidak juga menikmati dangdut di pesisir pantai. Cukup ngumpul bareng di basecamp Sibak.
Sekitar pukul delapan malam saya njedul ke basecamp. Disana sudah ada beberapa senior yang berkumpul. Cak luk, salah satu senior paling senior ternyata datang sangat awal. Tidak seperti biasanya, senior berhak datang telat. Mungkin ada rasa yang mendalam di usia ke 5 tahun ini. Atau mungkin cak luk mulai bisa menyadari, keluar malam tidak semduah dulu. Segarang apapun lelaki, selalu takut dengan istri di rumah.
Disamping cak luk ada Mas Nop yang asyik menikmati udud-nya. Jomblo radikal ini kelihatan nyaman menikmati malam. Pikirannya mungkin berbaur ke negeri antah berantah. Mencari-cari putri kahyangan yang tak kunjung datang.
Ada juga Om Hani, Mbah Gondrong (Mas Anis) dan beberapa senior yang tidak bisa saya sebutkan asmo karimnya satu persatu. Di ruangan belakang para junior sibuk membredel Ingkung. Sebuah perkumpulan harus keren dengan memberi predikat senior-junior. Aihhh.
“Meski tidak punya mercon, tapi kan kami punya ingkung”, kurang lebih terjemahan meringis Mas Syarif si penyumbang ingkung seperti itu. Pergantian tahun ini akan menjadi istimewa baginya. Setelah belasan tahun, bahkan ratusan tahun ia menjomblo, akhirnya ia bisa lalui pergantian tahun kali ini dengan predikat: Complicated alias Rumit. Paling tidak ada sedikit peningkatan. Dulu, syarafnya benar-benar tidak terhubung sama sekali dengan cewek. Sekarang jadi terhubung, meski rumit. Dia yakin ada secercah chemistry. Dia anggap itu jadian. Yo wes lah, bagaimanapun cara Mas Syarif memaknai, yang jelas sekarang ada hadiah ingkung yang ia persembahkan untuk ulang tahun Maiyah Purworejo. Ajibbb.
Sekitar jam 9 acara dimulai. Didahului dengan membaca Al-Barzanji. Dengan gaya khas masing-masing hadirin menikmati lantunan ayat-ayat Al Barzanji dari Mas Imam, Saya dan Cak Luk. Karena lagi-lagi Maiyah ini genre-nya edan, saat syroqollangsung disambung menyanyikan Lagu Indonesia Raya. Bisa-bisa Jamaah Maiyah Purworejo dianggap liberal karena memasukkan Lagu Indonesia Raya di naskah Al Barzanji. Ini pasti bid’ahnya bid’ah.
Selesai berjanjenan, Cakluk membuka acara dengan terlebih dahulu merefleksi perjalanan Maiyah Purworejo selama 5 tahun ini. Beliau menerangkan sedikit tentang Maiyah karena banyak anggota baru yang hadir. Sekitar 30-an orang berkumpul malam itu.
“Jamaah Maiyah Purworejo ini diberi nama Wolulasan. Alasannya simple karena rumah sibak tempat lahirnya beralamat di jalan nomor delapan belas. Secara hitungan juga baik”, kata Cakluk.
“Maiyah ini bukan organisasi tapi organisme karena di dalamnya ada nyawa. Masing-masing dari kita punya kemerdekaan”, lanjut Cak Luk lagi memberi pemanasan diskusi yang malam itu mengambil tema “Setia Atau Mati”
Menurut Cak Luk setiap hal itu mempunyai jodohnya. Perbuatan baik pasti akan ada balasan jodohnya, begitupun perbuatan buruk. Tema “Setia atau Mati” yang diangkat malam ini sudah lebih dahulu digodog beberapa waktu yang lalu. Saya sendiri sempat menyaksikan Cak Luk dan Mas Nop susah berkompromi urusan tema ini.
Kesempatan pertama diberikan kepada Mas Jum yang menurut cak Luk paling berpengalaman soal kesetiaan. Mas Jum ini sudah pacaran 5 tahun kemudian di tinggal nikah. Bayangkan. Bisa laku jadi ide sinetron. Ketika dimintai pendapat tentang pengalaman hidupnya, Mas Jum justru dengan sangat bijak bilang, “Bicara soal kesetiaan ada satu pertanyaan menarik, pantas gak dia atau kita di setiani?”
Tepuk tangan hadirin pecah mencoba menghibur kegundahan Mas Jum. Mas Nop pun menyambung. Ada sesuatu yang menggelitik bagi Mas Nop, yaitu kesetiaan pada suatu pemimpin. Lambat laun, ketika kita merasa pemimpin kita sudah berbeda ideologi, akankah kita berubah haluan mencari pemimpin lain. Kita ini harus setia kepada seorang pemimpin atau ideologi?
Mbah Ali yang ada dipojokan pun terlihat menerawang. Seperti ada sesuatu yang penting yang harus disampaikannya. Mbah Ali ini juga kenyang pengalaman hebat. Beberapa waktu lalu saja mesti tombok berjuta-juta demi kesuksesan sebuah acara ummat. Sungguh mulia.
“Setia yang pasti itu hanya setia kepada Tuhan, karena kesetiaan kepada Tuhan tidak akan menimbulkan kekecewaan. Berbeda dengan setia kita kepada makhluk”, kata Mbah Ali.
Mas Chris langsung nyambung. Dia agak tidak setuju dengan Mbah Ali.
“Jangan lupakan juga Nabi Muhammad. Jadi kesetiaan kita kepada Tuhan harus dilengkapi dengan kesetiaan kepada Kanjeng Nabi. Ibarat kopi dan gula yang tidak bisa dipisahkan”
Mbah Ali manggut-manggut dan meng-elus-elus jenggotnya tanda setuju. “Nah,kayakuwe”, Mbah Ali nyeletuk di susul tawa hadirin.
Kemudian tiba giliran saya. Saya teringat salah satu tulisan cak nun, bahwa mlaku-mlaku dan mlaku itu beda. Jalan-jalan berbeda dengan Jalan. Makan berbeda dengan icip. Menunjukkan kesetiaan ya diibaratkan mlaku, bukan mlaku-mlaku. Kita harus menjalani hidup yang panjang ini, jangan hanya dimaknai jalan-jalan di dunia.
Semakin malam semakin intim membahas tentang kesetiaan. Cak Luk mengajukan pertanyaan menarik: Apakah Negara Ini Masih Pantas Disetiani?
“Mari kita cari kebobrokan negara ini sebobrok-bobroknya terlebih dahulu. Setelah itu kita akan tahu apakah Negara ini masih layak disetiani?”, kata Cak Luk.
Arifin menyoroti tentang luas wilayah NKRI. Menurutnya, belum ada catatan sejarah ada sebuah kerajaan yang luasnya melebihi Indonesia. Bahkan Gajah Mada pun tidak bisa mengalahkan siliwangi. Kesultanan Demak pun juga wilayahnya cuma Jawa. Jadi dibuku-buku sejarah yang mengatakan luas kerajaan sebegitu besar itu cuma doktrin. Masih menurut Arifin, bahwa pemahaman kita tentang NKRI pun lambat laun bisa berubah. Tidak kekal. Dan perubahan itu tejadi alamiah karena pemahaman kita yang meningkat. Dengan pemahaman yang berubah, pandangan pun akan berubah.
Jika menyoroti tentang bobroknya Indonesia tentu akan sangat panjang. Misalkan saja membicarakan tentang freeport. Lalu soal pusat Aqua yang ada di Wonosobo. Air itu idealnya bisa dinikmati rakyat secara gratis. Tapi sekarang jadi bayar, dalam bentuk: Aqua. Jateng ini punya potensi yang besar karena SDA nya ada. Anggarannya mencapai ribuan triliun dalam 1 tahun. Bahkan kedepan mungkin Indonesia ini tidak akan ada lagi. Tanah sudah bayar. Airpun kini bayar. Tinggal udara yang belum bayar. Makanya untuk ngeneng-ngeneng hati kita rakyat-rakyat kecil ini, ada sebuah ungkapan menarik bahwa Negara Itu Bagian Dari Desa Saya.
Begitu beralih ke Alan, teman-teman kompak menyoroti idenya tentang Purworejo Gabung DIY. Di acara debat cabup cawabup lalu Alan memang sempat membuat heboh karena memunculkan isu ini. Saking ramainya bahkan berlanjut hingga twitter. Ide itu menurut Alan tidak lain adalah bentuk kepedulian masyarakat tentang kemajuan dan kesejahteraan Purworejo. Dari segi geografis jarak Purworejo ke Jogja jauh lebih rasional ketimbang jarak Purworejo ke Semarang. Banyaknya pemuda Purworejo yang memilih kuliah ke Jogja ketimbang di Jateng juga perlu menjadi catatan. Dari sisi historis, adat istiadat mempunyai kesamaan. Jadi, menurut Allan kok sampai ide ini muncul tentu ada pertimbangannya dan tidak asal-asalan cari sensasi.
Tak Terasa atau memang tak mempedulikan, waktu sudah menunjukkan pukul 00.17. Sudah tahun 2016. Cak luk berseloroh, “Wah ini pemuda-pemuda gila, diskusi sampai 2 tahun“. Bau nikmat ingkung Mas Syarif sudah mulai tercium. Gorengan dan beberapa botol sprite dihidangkan. Beberapa bungkus rokok siap disedot. Cakluk pun berseloroh lagi, “Masih ingat maiyahan dulu, satu rokok joinan gantian untuk lima orang. Sekarang sudah makmur. Rokok tidak perlu joinan lagi. Apakah ini tandanya Indonesia sudah makmur? Saya yakin negara ini baik, tapi saya lebih yakin negara ini rusak”. Para peserta maiyah dibuat ger-geran.
Membicarakan soal rokok, mas Hani pun langsung angkat bicara. Menurutnya propaganda ‘Merokok Haram’ ini adalah pesanan asuransi. Ya jadi kalau ada propaganda yang aneh-aneh jangan kaget, karena semua ada sponsornya.
Semakin malam diskusi semakin ramai. Akhirnya sampai ke titik apakah konsep NKRI ini masih pantas di-setia-ni atau tidak. Cakluk mungkin agak takut karena dipojokan ruangan hadir salah satu komandan Banser yang baru saja dilantik. Ingat kata-kata Banser: NKRI Harga Mati! Tapi…. ya embuh, tenanan harga mati atau tidak. Karena panjangnya diskusi terpaksa harus saya bagi dalam dua tulisan. Ditunggu saja sambungannya. Sekarang apa-apa bersambung. Mumpung rating lagi tinggi. Ya tho? Hehe.
Wolulasan kini sudah lepas dari masa Balita, berarti juga sudah lepas dari masa Batita. Sudah harus ganti susu. Sudah resmi lebih dari 5 tahun. Apa-apa memang harus resmi, supaya bisa disertifikasi. :v Dalam usia ke 5 tahun ini tentu banyak sekali pelajaran yang bisa di petik. Sesuai temanya tentang kesetiaan, para pemuda yang bertahan di basecamp malam ini pun telah membuktikan kesetiannya kepada Maiyah. Setiap malam tanggal satu berdiskusi yang kadang tidak jelas jluntrungannya. Bercita-cita setinggi langit meski belum tahu jalan apa yang mesti ditempuh.
Bersambung…
Malam 1 januari lalu, bagi jamaah maiyah Purworejo adalah momen spesial. Tidak terasa Jamaah Maiyah Purworejo sudah berusia 5 tahun. Ta...