Category 1

Kamis, 21 Januari 2016



Untuk membantu kesuksesan jalannya program “Missi Islam”, para kader dipersiapkan sebaik mungkin dengan dibekali berbagai pelatihan. Pembekalan biasanya dilakukan dengan memberikan kursus sentral selama empat puluh hari.

Latihan terdiri dari out door dan in door untuk melatih  para calon da’i agar mereka siap di segala medan. Bila mereka sudah siap, lalu dilakukan kontak dengan Pengurus Cabang NU setempat. Selanjutnya mereka dikirim ke tempat tugas, menetap di sana, dengan seluruh biaya hidup ditanggung oleh PCNU setempat.

Menurut salah satu kader yang terlibat dalam “Lembaga Missi Islam” di tahun 1960-an, H. Ahmad Syaibani Ilham, menuturkan kader yang siap untuk dikirim kemudian dibagi menjadi tiga tingkatan. Pembagiannya berdasarkan jenjang pendidikan yang mereka miliki.

“Tiga tingkatan tersebut, pertama Missi Muda (setingkat SMP), kemudian Missi Dewasa (setingkat SMA) dan terakhir Missionaris (taraf sarjana),” ungkap Syaibani, kepada NU Online, belum lama ini.

Ditambahkan pria yang pernah menjabat sebagai lurah Pucangan Kartasura Sukoharjo Jawa Tengah itu, keberadaan “Lembaga Missi Islam” ini cukup membantu dakwah Islam, khususnya di daerah terpencil seperti Nias, Irian, Timor, NTT, dan sebagainya.

Sayangnya, keberadaan “Lembaga Missi Islam” ini tak dapat bertahan lama. Dalam perjalanannya, lembaga ini memang tidak pernah dibubarkan, tapi sejak tahun 1982 kegiatannya vakum.

Semasa Muktamar NU di Cipasung tahun 1994, “Missi Islam” pernah coba untuk dihidupkan, namun akhirnya mati kembali. Dalam Muktamar Lirboyo 1999, namanya malah hilang dari Anggaran Dasar NU. Meski demikian, aset-aset yang dimilikinya tetap menjadi milik NU. Bidang garap lembaga ini dialihkan pada LDNU (Lembaga Dakwah NU).

“Di zaman Pak Idham ada yang mau mengurus (Missi Islam,-red), tapi sekarang sudah tidak ada yang mengurusnya,” kata Syaibani, yang juga pernah mengemban amanah Wakil Ketua PCNU Sukoharjo tahun 1964. (Ajie Najmuddin)

Mengenang Dakwah Kaum Muda NU di Daerah Terpencil

Untuk membantu kesuksesan jalannya program “Missi Islam”, para kader dipersiapkan sebaik mungkin dengan dibekali berbagai pelatihan. P...

“Semua lagu itu dimata saya sama saja. Saya seneng (lagu Iwan Fals), tapi ya, tidak punya waktu menghafalkannya. Jadi antara ciptaan dan keadaan itu harus selalu terjadi pergesekan. Itu yang membuat jiwa Iwan Fals seperti itu. Beruntung kita masih punya orang seperti Iwan Fals. Wong bangsa kita jadi bangsa penakut. Lha kok Iwan Fals berani. Yang membuat dia istimewa kan itu.” – KH Abdurrahman Wahid

Itu adalah statemen Gus Dur, presiden sekaligus pemimpin organisasi Islam terbesar Indonesia itu, menilai seorang Iwan Fals. Dalam sebuah video berjudul “Apa kata mereka?” di Indosiar, yang diunggah oleh akun youtube emanfals pada 28 April 2007 itu, seakan menegaskan wibawa dan level seorang musisi besar Indonesia bernama asli Virgiawan Listanto. Musisi yang pada 29 April 2002 pernah menjadi cover majalah Internasional “Time” dengan judul: Asian Heroes. Semenjak kecil saya sebenarnya sudah pernah mendengan lagu Bang Iwan Fals. Namun, karena ibu saya lebih suka dangdut Ida Laila dan kasidah Nasida Ria, saya waktu itu belum tertarik. Juga, ayah saya yang hobi dengerin Bang Haji Rhoma Irama, semakin menyempitkan saya mengenali sosok yang semua anaknya dibuat judul lagu itu. Tahu lagu-lagunya pun juga hanya sekilas lalu.

Ketertarikan saya dimulai semenjak menjadi aktivis kampus: BEM STAI An-Nawawi Purworejo. Waktu itu, saya menghadiri Mukernas BEM PTNU Se-Nusantara di Yogyakarta. Salahsatu pembicaranya adalah Kiai Muwaffiq, yang mengisi materi Nahdlatul Ulama dan Masa Depan Bangsa. Di akhir mengisi materi, beliau mengundang juniornya yang jago main gitar.

Mulailaih iya bernyanyi, dengan penuh peresapan dan penghayatan. Beliau menyanyikan beberapa lagu: Kemesraan, Bongkar, Kereta Tiba Pukul Berapa, Ambulan Zig Zag dan Kesaksian. Sontak, semua hadirin ikut bernyanyi, terhanyut dalam nyanyian jiwa. Saya yang tidak begitu hafal, jadi geli-geli gimana gitu. Mau nyanyi tapi kok ndakbisa! Malu.

Lagu Kemesraan, waktu itu saya sedikit bisa. Lumayan, lirik lama tapi menenangkan, menggetarkan. Lagu Bongkar saya hafal bagian reffnya, lumayan bisa untuk membuka mulut dan menggerakkannya, berteriak sepuasnya, agar tidak terlalu malu pada teman sebelah saya. Lalu, lagu Kereta Tiba Pukul Berapa,Ambulan Zig Zag dan Kesaksian, praktis saya terdiam. Baru kali itu saya mendengarnya! Pertama, yang saya belum bisa, adalah lagu Kereta Tiba Pukul berapa. Lagu ini mengkritik pemerintah cq Menteri Perhubungan yang menangani kereta api dengan kurang becus: sering telat. Sambil melihat Kiai Muwaffiq bernyanyi memejamkan mata sambil sesekali menjerit, saya perhatikan liriknya, kegelisahannya, perlawanannya.

Lagu selanjutnya, yang saya belum bisa, adalah Ambulan Zig Zag, ini liriknya: deru ambulance memasuki pelataran/ rumah sakit yang putih berkilau/ didalam ambulance tersebut tergolek/ sosok tubuh gemuk bergelimang/ perhiasan/ nyonya kaya pingsan mendengar khabar/ putranya kecelakaan dan para medis/ berdatangan kerja cepat/ lalu langsung membawa korban menuju/ ruang periksa tanpa basa basi/ ini mungkin sudah terbiasa/ tak lam berselang sopir helicak datang/ masuk membawa korban yang berkain/ sarung/ seluruh badannya melepuh akibat/ pangkalan bensin ecerannya meledak/ suster cantik datang mau menanyakan/ dia menanyakan data sikorban/ dijawabnya dengan jerit kesakitan/ suster menyarankan bayar ongkos…/ pengobatan/ hai sungguh sayang/ korban tak bawa uang/ suster cantik mengotot lalu melotot dan/ berkata silahkan bapa tunggu dimuka/ hei modar aku…hei modar aku/ jerit sipasien merasa kesakitan (merasa diremehkan)

Terakhir, waktu itu adalah lagu Kesaksian, sebuah lagu yang liriknya dikarang oleh sahabat Bang Iwan Fals, sastrawan besar Indonesia: WS Rendra. Berikut liriknya: Aku mendengar suara/ Jerit makhluk terluka/ Luka luka hidupnya/ Luka/ Orang memanah rembulan/ Burung sirna sarangnya/ Sirna sirna hidup redup/ Alam semesta luka/ Banyak orang hilang nafkahnya/ Aku bernyanyi menjadi saksi/ Banyak orang dirampas haknya/ Aku bernyanyi menjadi saksi/ Mereka dihinakan/ Tanpa daya/ Ya tanpa daya/ Terbiasa hidup sangsi/ Orang orang harus dibangunkan/ Aku bernyanyi menjadi saksi/ Kenyataan harus dikabarkan/ Aku bernyanyi menjadi saksi/ Lagu ini jeritan jiwa/ Hidup bersama harus dijaga/ Lagu ini harapan sukma/Hidup yang layak harus dibela Semenjak itu, saya menjadi suka lagu-lagu Iwan Fals. Semuanya. Bahkan kemudian, ada saat dimana saya dan teman-teman hampir setiap hari menyanyikan lagu-lagunya. Sampai kini, saya sudah hafal mayoritas lagunya, tingggal beberapa yang belum.

Semua lagu-lagunya adalah, seperti yang disampaikan Gus Dur, bergesekan dengan kenyataan. Ada yang bicara politik, sosial, ekonomi, lingkungan sampai percintaan dengan lirik yang jujur dan penuh kedewasaan. Kini, ketika saya mendengar lagu Iwan Fals dinyanyikan oleh pengamen, saya akan lebih banyak ngasih dibanding pengamen yang tidak menyanyikan lagunya. Kadang malah saya tanggap untuk menyanyikan beberapa lagu. Kalau pas kegalauan sedang ekstrim malah saya yang nyanyi sendiri, pengamen itu menggenjreng gitarnya sambil melihat saya geli. 😀 Lagu Iwan Fals, akan mengabadi. Benderanya berkibar di semua konser. Gambarnya ada di baju para aktivis, gambar dalam pigura di rumah-rumah serta truk-truk dan angkutan umum. Lagunya digemari oleh anak-anak yang bahkan lahir jauh sesudahnya: beda generasi dan beda zaman. Namun lagunya selalu relevan dengan keadaan: menyuarakan keadilan, penindasan, kegelisahan dan nyanyian jiwa kaum pinggiran. Hampir orang yang berjiwa sosial kenal dan akan mengidolakan lagu-lagunya.

Berbeda dengan lagu “religi” sekarang. Meski Bang Iwan Fals jarang yang memakai kata Allahu Akbar dan Syurga, lagu-lagu Bang Iwan Fals adalah lagu “religi”, “Islami” atau tepatnya mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan keislamanan: amar ma’ruf nahi munkar, melawan kesewenang-wenangan, menyuarakan keadilan dan mengutuk penindasan! (sebagaimana kata Sayyidina Ali karramallahu wajhah: Faainama takuunu al-adlu fasamma wajhu Allah; dimanapun engkau menemukan keadilan, disana ada “wajah” Allah) Sudahkah kamu mendengar nyanyian-nyanyian jiwanya yang legendaris itu? 😀 [Semarang, 19/01/2016 – 23:28]

Nyanyian Jiwa Iwan Fals

“Semua lagu itu dimata saya sama saja. Saya seneng (lagu Iwan Fals), tapi ya, tidak punya waktu menghafalkannya. Jadi antara ciptaan da...


Salah satu sahabat ‪#‎nubackpacker‬ ‘Fafa’ berniat plesir bersama anak didiknya. Saya pun diminta tolong membuatkan co card untuk penanda anak didiknya, mungkin agar mudah diidentifikasi, dan misal ada anak didik yang ketriwal jadi mudah ditemukan. Singkong adalah jujugan saya. Sebuah toko cina yang kadung kondang murah dan lengkap.
Tapi bukan itu semua inti cerita, bukan fafa atau singkong. Saat antre mendapatkan pelayanan, ada sebuah cerita lucu atau dagelan. Ketawa saya mungkin mirip-mirip bapak presiden yang dihibur parto dan kawan-kawan.
Seorang tukang becak yang mangkal tepat di depan singkong ditegur oleh cik pemilik kios.
“Pak, celananya bolong. Itu kelihatan”, cik itu mencoba memperingatkan.
“Ah, ya nggak lah. Nggak kok”, si tukang becak cepat-cepat membantah tanpa kroscek celananya terlebih dahulu. Barulah beberapa detik kemudian dia melirik kebawah mencari kesempatan sepersekian detik untuk mencari kebenaran. Sama sepersekian detiknya juga dengan kesempatan yang dia berikan pada bibirnya untuk tertawa. Lalu, menaukidi dengan bilang “nggak bolonglah nggak bolonglah” meski jelas-jelas celananya bolong dan kelihatan celana dalamnya.
Si cik kemudian berlalu dan tidak mempersoalkan lama-lama. Sementara si tukang becak kini sudah berganti posisi dengan perlindungan diri yang lebih baik. Mulanya posisinya percaya diri bin menantang alias mekangkang. Kali ini, kakinya agak miring sehingga objek permasalahannya dengan si cik sudah tidak terekspos lagi. Kesalahannya musti segera ditutupi agar tidak menarik perhatian lebih banyak orang.
‘Ah Dasar’ mungkin gerutu si Tukang Becak. Meskipun tukang becak, tetap saja ia berhak merasa harga dirinya terinjak-injak ketika seorang perempuan tanpa basa-basi mengingatkan hal itu di depan banyak orang. Apalagi berkaitan dengan si ‘Anu’. Ini berkaitan dengan harga diri seorang lelaki.
Beberapa saat kemudian si Tukang becak memejamkan mata. Antara tidur atau pura-pura tidur susah dibedakan karena di dalam becak itu kini hanya tersisa sunyi. Mungkin dia ingin cepat-cepat membuang kegundahannya yang sederhana. Dia ingin cepat-cepat melupakan Indonesia, si Anu dan Mak Cik. Mungkin juga dia berharap, dalam pejamnya ia segera berpindah ke Amrik. Melakukan kunjungan kenegaraan, meneliti gaya dan model becak disana.
Aih, sekarang biarkan Mak Cik itu mesam-mesem melihat si Tukang Becak. Biarkan juga si Tukang Becak tidur setengah nikmat. Kalaupun di tengah ketidak sadarannya kakinya tiba-tiba berpindah posisi dan si ‘Sempak’ kembali ter ekspos, toh dia tinggal bilang tidak. Si Tukang becak saja punya hak bilang tidak berkali-kali, apalagi Anggota Dewan Yang Terhormat.

Tukang Becak Pun Berhak Berkata ‘TIDAK’

Salah satu sahabat  ‪#‎ nubackpacker‬  ‘Fafa’ berniat plesir bersama anak didiknya. Saya pun diminta tolong membuatkan co card untuk p...


Bertahun-tahun yang lalu ketika masih menjadi Monster Jackers saya terkesan urakan. Ke jogja, nonton konser di barisan paling depan. Tangan wajib memegang pagar pembatas. Berteriak paling kencang. Saat kepanasan langsung mbengok“Air. Airrr. Airr”. Selang raksasa diacungkan tinggi-tinggi, kemudian tak menunggu lama air pun memancar. Nikmatnya seperti hujan. Berjoget ria hingga kalap. Tengah malam di penghujung konser pun tak lagi ada tenaga. Tergeletak di lapangan begitu saja. Lemas. Tapi Nikmat.
Beberapa tahun kemudian siapa sangka genre perasaan berubah total. Yang tadinya dipenuhi dengan hentakan drum, lalu tiba-tiba saja dipenuhi dengan dung-tak dung-tak rebana. Mengenal Habib Syekh lalu Syekhermania (Bukti sholawat pun tak ketinggalan jaman, ada monster jackers, slankers, maka harus ada syekher :v). Perkenalan awalpun begitu menggoda. Saya menyerodok hingga barisan paling depan karena menuruti penasaran. Lebih depan dari grup hadroh, bahkan tukang suting pun masih ada di belakang saya.
Hampir semua lagu tidak bisa saya dendangkan. Melongo, melotot kedepan ke panggung yang persis ada di depan saya. Bukan lagi sebatas pagar yang tersentuh, tapi kali ini sang penyanyi hanya berjarak beberapa meter saja. Di belakang saya ratusan bahkan mungkin ribuan santri bersholawat bersama-sama. Semuanya berbaju putih. Semuanya berpeci putih. Kecuali tukang suting dan saya yang menggunakan jaket blontang-blontang. Merindiiing. Entah nuansa apa. Saat itu juga saya jatuh cinta. Saat itu juga saya tidak ke jogja lali untuk moshing.
Pergantian genre ini tidak serta merta langsung merubah seluruh kebiasaan. Tubuh ini kadang reaktif berlebihan ketika mengunjungi Habib Syekh dari kota ke kota. Goyang ke kanan dan ke kiri begitu nikmat (menurut versi saya). Tangan di angkat ke atas mengikuti irama lagu. Keringat kecut mengucur kemana-mana.
Seorang syekher senior dengan sangat bijak sekali pernah menegur,
“Sholawat itu bukan seperti itu. Sholawat bukan seperti nonton konser. Mosok sholawat kok gak ada sopan-sopannya kepada kanjeng Nabi”
Aihh, hati ini langsung deg-deg an. Yang tadinya mulai suka sholawat jadi takut mendadak. Yang tadinya mulai menemukan ketenangan baru jadi terusik. Perasaan tidak pantas berbuat baik menghantui. Aku ini harus bagaimana?
Tapi kemudian perlahan saya teringat Rumi,
Air berkata kepada yang kotor, “Kemarilah.” Maka yang kotor akan berkata, “Aku sungguh malu.” Air berkata, “Bagaimana malumu akan dapat dibersihkan tanpa aku?”
Kata-kata Rumi inilah yang membuat saya kuat kembali meski cara bersholawat saya dikritik habis-habisan. Dia boleh kaget dengan cara bersholawat yang edanini. Tapi saya tidak boleh ikut kagetan. Dia boleh gumun dan mencak-mencak karena genre bersholawat yang aneh ini. Tapi saya tidak boleh gumunan dengan adanya orang-orang yang tebang habis keburukan karena dia merasa punya bibit-bibit kebaikan yang ideal.
Saat ini saya memang belum bisa menangis dan menjadikan air mata sebagai bukti kecintaan kepada Nabi. Saat ini cuma ada air keringat hasil aksi ugal-ugalan saat bersholawat. Cuma itu bukti cinta saya kepada Kanjeng Nabi. Kecut lagi.

Genre Edan

Bertahun-tahun yang lalu ketika masih menjadi  Monster Jackers  saya terkesan urakan. Ke jogja, nonton konser di barisan paling depan....

Malam 1 januari lalu, bagi jamaah maiyah Purworejo adalah momen spesial. Tidak terasa Jamaah Maiyah Purworejo sudah berusia 5 tahun. Tapi, perayaannya sangat jauh dari hiruk-pikuk. Tidak ada mercon. Tidak mendaki ke puncak gunung yang kini seramai pasar. Tidak juga menikmati dangdut di pesisir pantai. Cukup ngumpul bareng di basecamp Sibak.
Sekitar pukul delapan malam saya njedul ke basecamp. Disana sudah ada beberapa senior yang berkumpul. Cak luksalah satu senior paling senior ternyata datang sangat awal. Tidak seperti biasanya, senior berhak datang telat. Mungkin ada rasa yang mendalam di usia ke 5 tahun ini. Atau mungkin cak luk mulai bisa menyadari, keluar malam tidak semduah dulu. Segarang apapun lelaki, selalu takut dengan istri di rumah.
Disamping cak luk ada Mas Nop yang asyik menikmati udud-nya. Jomblo radikal ini kelihatan nyaman menikmati malam. Pikirannya mungkin berbaur ke negeri antah berantah. Mencari-cari putri kahyangan yang tak kunjung datang.
Ada juga Om Hani, Mbah Gondrong (Mas Anis) dan beberapa senior yang tidak bisa saya sebutkan asmo karimnya satu persatu. Di ruangan belakang para junior sibuk membredel Ingkung. Sebuah perkumpulan harus keren dengan memberi predikat senior-juniorAihhh.
“Meski tidak punya mercon, tapi kan kami punya ingkung”, kurang lebih terjemahan meringis Mas Syarif si penyumbang ingkung seperti itu. Pergantian tahun ini akan menjadi istimewa baginya. Setelah belasan tahun, bahkan ratusan tahun ia menjomblo, akhirnya ia bisa lalui pergantian tahun kali ini dengan predikat: Complicated alias Rumit. Paling tidak ada sedikit peningkatan. Dulu, syarafnya  benar-benar tidak terhubung sama sekali dengan cewek. Sekarang jadi terhubung, meski rumit. Dia yakin ada secercah chemistry. Dia anggap itu jadian. Yo wes lah, bagaimanapun cara Mas Syarif memaknai, yang jelas sekarang ada hadiah ingkung yang ia persembahkan untuk ulang tahun Maiyah Purworejo. Ajibbb.
Sekitar jam 9 acara dimulai. Didahului dengan membaca Al-Barzanji. Dengan gaya khas masing-masing hadirin menikmati lantunan ayat-ayat Al Barzanji dari Mas Imam, Saya dan Cak Luk. Karena lagi-lagi Maiyah ini genre-nya edan, saat syroqollangsung disambung menyanyikan Lagu Indonesia Raya. Bisa-bisa Jamaah Maiyah Purworejo dianggap liberal karena memasukkan Lagu Indonesia Raya di naskah Al Barzanji. Ini pasti bid’ahnya bid’ah.
Selesai berjanjenan, Cakluk membuka acara dengan terlebih dahulu merefleksi perjalanan Maiyah Purworejo selama 5 tahun ini. Beliau menerangkan sedikit tentang Maiyah karena banyak anggota baru yang hadir. Sekitar 30-an orang berkumpul malam itu.
“Jamaah Maiyah Purworejo ini diberi nama Wolulasan. Alasannya simple karena rumah sibak tempat lahirnya beralamat di jalan nomor delapan belas. Secara hitungan juga baik”, kata Cakluk.
“Maiyah ini bukan organisasi tapi organisme karena di dalamnya ada nyawa. Masing-masing dari kita punya kemerdekaan”, lanjut Cak Luk lagi memberi pemanasan diskusi yang malam itu mengambil tema “Setia Atau Mati”
Menurut Cak Luk setiap hal itu mempunyai jodohnya. Perbuatan baik pasti akan ada balasan jodohnya, begitupun perbuatan buruk. Tema “Setia atau Mati” yang diangkat malam ini sudah lebih dahulu digodog beberapa waktu yang lalu. Saya sendiri sempat menyaksikan Cak Luk dan Mas Nop susah berkompromi urusan tema ini.
Kesempatan pertama diberikan kepada Mas Jum yang menurut cak Luk paling berpengalaman soal kesetiaan. Mas Jum ini sudah pacaran 5 tahun kemudian di tinggal nikah. Bayangkan. Bisa laku jadi ide sinetron. Ketika dimintai pendapat tentang pengalaman hidupnya, Mas Jum justru dengan sangat bijak bilang, “Bicara soal kesetiaan ada satu pertanyaan menarik, pantas gak dia atau kita di setiani?
Tepuk tangan hadirin pecah mencoba menghibur kegundahan Mas Jum. Mas Nop pun menyambung. Ada sesuatu yang menggelitik bagi Mas Nop, yaitu kesetiaan pada suatu pemimpin. Lambat laun, ketika kita merasa pemimpin kita sudah berbeda ideologi, akankah kita berubah haluan mencari pemimpin lain. Kita ini harus setia kepada seorang pemimpin atau ideologi?
Mbah Ali yang ada dipojokan pun terlihat menerawang. Seperti ada sesuatu yang penting yang harus disampaikannya. Mbah Ali ini juga kenyang pengalaman hebat. Beberapa waktu lalu saja mesti tombok berjuta-juta demi kesuksesan sebuah acara ummat. Sungguh mulia.
“Setia yang pasti itu hanya setia kepada Tuhan, karena kesetiaan kepada Tuhan tidak akan menimbulkan kekecewaan. Berbeda dengan setia kita kepada makhluk”, kata Mbah Ali.
Mas Chris langsung nyambung. Dia agak tidak setuju dengan Mbah Ali.
“Jangan lupakan juga Nabi Muhammad. Jadi kesetiaan kita kepada Tuhan harus dilengkapi dengan kesetiaan kepada Kanjeng Nabi. Ibarat kopi dan gula yang tidak bisa dipisahkan”
Mbah Ali manggut-manggut dan meng-elus-elus jenggotnya tanda setuju. “Nah,kayakuwe”, Mbah Ali nyeletuk di susul tawa hadirin.
Kemudian tiba giliran saya. Saya teringat salah satu tulisan cak nun, bahwa mlaku-mlaku dan mlaku itu beda. Jalan-jalan berbeda dengan Jalan. Makan berbeda dengan icip. Menunjukkan kesetiaan ya diibaratkan mlaku, bukan mlaku-mlaku. Kita harus menjalani hidup yang panjang ini, jangan hanya dimaknai jalan-jalan di dunia.
Semakin malam semakin intim membahas tentang kesetiaan. Cak Luk mengajukan pertanyaan menarik: Apakah Negara Ini Masih Pantas Disetiani?
“Mari kita cari kebobrokan negara ini sebobrok-bobroknya terlebih dahulu. Setelah itu kita akan tahu apakah Negara ini masih layak disetiani?”, kata Cak Luk.
Arifin menyoroti tentang luas wilayah NKRI. Menurutnya, belum ada catatan sejarah ada sebuah kerajaan yang luasnya melebihi Indonesia. Bahkan Gajah Mada pun tidak bisa mengalahkan siliwangi. Kesultanan Demak pun juga wilayahnya cuma Jawa. Jadi dibuku-buku sejarah yang mengatakan luas kerajaan sebegitu besar itu cuma doktrin. Masih menurut Arifin, bahwa pemahaman kita tentang NKRI pun lambat laun bisa berubah. Tidak kekal. Dan perubahan itu tejadi alamiah karena pemahaman kita yang meningkat. Dengan pemahaman yang berubah, pandangan pun akan berubah.
Jika menyoroti tentang bobroknya Indonesia tentu akan sangat panjang. Misalkan saja membicarakan tentang freeport. Lalu soal pusat Aqua yang ada di Wonosobo. Air itu idealnya bisa dinikmati rakyat secara gratis. Tapi sekarang jadi bayar, dalam bentuk: Aqua. Jateng ini punya potensi yang besar karena SDA nya ada. Anggarannya mencapai ribuan triliun dalam 1 tahun. Bahkan kedepan mungkin Indonesia ini tidak akan ada lagi. Tanah sudah bayar. Airpun kini bayar. Tinggal udara yang belum bayar. Makanya untuk ngeneng-ngeneng hati kita rakyat-rakyat kecil ini, ada sebuah ungkapan menarik bahwa Negara Itu Bagian Dari Desa Saya.
Begitu beralih ke Alan, teman-teman kompak menyoroti idenya tentang Purworejo Gabung DIY. Di acara debat cabup cawabup lalu Alan memang sempat membuat heboh karena memunculkan isu ini. Saking ramainya bahkan berlanjut hingga twitter. Ide itu menurut Alan tidak lain adalah bentuk kepedulian masyarakat tentang kemajuan dan kesejahteraan Purworejo. Dari segi geografis jarak Purworejo ke Jogja jauh lebih rasional ketimbang jarak Purworejo ke Semarang. Banyaknya pemuda Purworejo yang memilih kuliah ke Jogja ketimbang di Jateng juga perlu menjadi catatan. Dari sisi historis, adat istiadat mempunyai kesamaan. Jadi, menurut Allan kok sampai ide ini muncul tentu ada pertimbangannya dan tidak asal-asalan cari sensasi.
Tak Terasa atau memang tak mempedulikan, waktu sudah menunjukkan pukul 00.17. Sudah tahun 2016. Cak luk berseloroh, “Wah ini pemuda-pemuda gila, diskusi sampai 2 tahun“. Bau nikmat ingkung Mas Syarif sudah mulai tercium. Gorengan dan beberapa botol sprite dihidangkan. Beberapa bungkus rokok siap disedot. Cakluk pun berseloroh lagi, “Masih ingat maiyahan dulu, satu rokok joinan gantian untuk lima orang. Sekarang sudah makmur. Rokok tidak perlu joinan lagi. Apakah ini tandanya Indonesia sudah makmur? Saya yakin negara ini baik, tapi saya lebih yakin negara ini rusak”. Para peserta maiyah dibuat ger-geran.
Membicarakan soal rokok, mas Hani pun langsung angkat bicara. Menurutnya propaganda ‘Merokok Haram’ ini adalah pesanan asuransi. Ya jadi kalau ada propaganda yang aneh-aneh jangan kaget, karena semua ada sponsornya.
Semakin malam diskusi semakin ramai. Akhirnya sampai ke titik apakah konsep NKRI ini masih pantas di-setia-ni atau tidak. Cakluk mungkin agak takut karena dipojokan ruangan hadir salah satu komandan Banser yang baru saja dilantik. Ingat kata-kata Banser: NKRI Harga Mati! Tapi…. ya embuhtenanan harga mati atau tidak. Karena panjangnya diskusi terpaksa harus saya bagi dalam dua tulisan. Ditunggu saja sambungannya. Sekarang apa-apa bersambung. Mumpung rating lagi tinggi. Ya tho? Hehe.
Wolulasan kini sudah lepas dari masa Balita, berarti juga sudah lepas dari masa Batita. Sudah harus ganti susu. Sudah resmi lebih dari 5 tahun. Apa-apa memang harus resmi, supaya bisa disertifikasi. :v Dalam usia ke 5 tahun ini tentu banyak sekali pelajaran yang bisa di petik. Sesuai temanya tentang kesetiaan, para pemuda yang bertahan di basecamp malam ini pun telah membuktikan kesetiannya kepada Maiyah. Setiap malam tanggal satu berdiskusi yang kadang tidak jelas jluntrungannya. Bercita-cita setinggi langit meski belum tahu jalan apa yang mesti ditempuh.
Bersambung…

Reportase Wolulasan #61

Malam 1 januari lalu, bagi jamaah maiyah Purworejo adalah momen spesial. Tidak terasa Jamaah Maiyah Purworejo sudah berusia 5 tahun. Ta...

PelajarNUPurworejo.Org - Beberapa bulan yang lalu Mas Nop mengajak saya untuk membuat suatu produk jurnalistik. Setelah di rembug akhirnya pilihan nama jatuh pada Nahdliyyin. Buletin yang rencananya terbit dua minggu sekali. Semangat saya dan mas nop waktu itu sedang pol-pol an. Apalagi NU dan Banom baru saja sukses mengadakan jalan santai yang diikuti 18.000-an peserta. Maka, saat itu saya dan Mas Nop sowan ke Ketua Tanfidziyah, beliau KH. Hamid Abdul Kadir. Kami mengutarakan maksud penerbitan sekaligus wawancara.

Setelah melalui berbagai macam proses, jadilh sebuah buletin delapan halaman. Covernya full color. Kertasnya HVS +. Alus dan meling-meling. Kami terbitkan saat Konfercab NU. Banyak sesepuh yang kaget dan apresiasi. Sudah sekian lama NU kering dengan jurnalistik. Padahal sohib sebelah seperti HTI begitu maju dan niat dengan bidang garapan ini. Di rumah sakit rumah sakit misalnya, buletin mereka bahkan sampai ke kamar-kamar. Kurang joss dan pass apa lagi coba. Menceramahi orang-orang yang merasa dekat dengan kematian dengan semangat jihad dan khilafah. Mantappp, rek. Bagi sesepuh yang sadar dengan produk Jurnalistik ini, harga 5000 yang waktu itu kita tentukan masih terlalu murah, Banyak yang menebus nya dengan 10.000 bahkan hingga 50.000 rupiah. Walhasil, hasil penjualan waktu itu ditambah iklan yang sudah lumayan banyak membuat kami sireng-sireng, berbinar-binar. Tatapan optimis kami meningkat sak garis ke level yang lebih tinggi.

Tapi… bukanlah anak muda namanya, jika urusan perasaan masih gampang labil. Setelah proses yang begitu mulus dan gayeng, buletin Nahdliyyin kami lenyap. Seperti anak muda kebanyakan kami beralasan dengan kesibukan, padahalndopok dan tidur 25 jam sehari. Buletin yang kami dan para sesepuh gadang-gadang tak kunjung terbit lagi. Saya dan Mas Nop pun kembali berembug. Saya ajak juga Mas Faqih Alwi koordinator Lembaga Pers dan Penerbitan IPNU. Buletin Nahdliyyin harus terbit lagi. Setelah rembag-rembug rembag-rembug, buletin Nahdliyyin diputuskan banting setir ke buletin mingguan. Menjadi buletin jumat yang terbit di Masjid-Masjid setiap menjelang Jum’atan. Tampilannya jauh lebih ekonomis. Kertasnya HVS biasa. Ukurannya diperkecil. Halamannya dikurangi. Otomatis kolom iklan jadi menyempit. Hehe.
Dengan tampilan yang baru dan dikerjasamakan dengan LPP IPNU ini Nahdliyyin memang menjadi lebih  istiqomah terbit. Setiap minggu terbit ke Masjid-masjid. Dicetak semampunya sesuai iklan yang masuk. Kader IPNU bergantian mengisi rubrik.

Nah, ketika sudah mulai sampai ke titik nyaman dengan penerbitan yang sederhana, Cak Luk, seorang wartawan senior di rumah sibak, datang mengajak saya dan mas Nop membuat majalah. Cak Luk seperti mengingatkan lagi cita-cita lama saya dan mas Nop. Pengalamannya di surat kabar membuat saya jadi optimis lagi. Menejemen baru dibentuk. Redaktur ditentukan. Dalam waktu yang singkat, 11 orang dalam projek ini sudah langsung di jatahi job sesuai bidangnya. Cakluk, Mas Nop dan saya ada pada bagian redaktur yang bertugas menggodog rubrik. Mas Imam bertanggung jawab di bidang menejemen. Chakim dan Qosim langsung tancap gas mencari sponsor.

Sore kemarin pun Saya dan Cakluk ditemani beberapa crew Nahdliyyin sowan ke Tanfidz dan Rois Suriah. Menjelaskan dan memohon ridlo soal penerbitan Majalah Nahdliyyin ini. Seperti waktu yang lalu, Pak Hamid pun sangat mendukung. Begitupun Habib Hasan selaku Rois Suriah menyatakan bangga dan memang sudah waktunya NU bergerak di bidang Jurnalistik. Menurut beliau hari ini sudah sangat telat. Sowan ke kedua tokoh ini memberikan energi positif yang luar biasa sebelum kami benar-benar memajalahkan Nahdliyyin. Sebelum pulang, Habib Hasan memberi kami masing-masing satu bungkus rokok sebagai bukti cinta. Aihhh.
Sekarang, tinggal bagaimana sekumpulan anak muda ini tidak gampang labil lagi. Benar-benar berusaha istiqomah dan tidak gampang mundur dalam berkarya. Bagi saya sendiri, memajalahkan Nahdliyyin bukan sekedar menebalkan halaman dan membaguskan tampilan produk. Memajalahkan nahdliyyin adalah soal menyadarkan warga nahdliyyin tentang modernitas yang sudah ada di depan mata. Pengajian dari kampung ke kampung harus dilengkapi dengan sebuah produk yang bisa diterima kota dan anak-anak muda. Memajalahkan Nahdliyyin juga berarti mempersatukan warga nahdliyyin yang kadang terkotak-kotak karena berbagai alasan. Majalah ini harus mampu menjadi pemersatu warga Nahdliyyin.
Bismillah.

Memajalahkan Nahdliyyin

PelajarNUPurworejo.Org -  Beberapa bulan yang lalu Mas Nop mengajak saya untuk membuat suatu produk jurnalistik. Setelah di  rembug  akh...

 

Majalah Nahdliyyin © 2015 - Designed by Templateism.com, Plugins By MyBloggerLab.com