Kamis, 21 Januari 2016

Tukang Becak Pun Berhak Berkata ‘TIDAK’



Salah satu sahabat ‪#‎nubackpacker‬ ‘Fafa’ berniat plesir bersama anak didiknya. Saya pun diminta tolong membuatkan co card untuk penanda anak didiknya, mungkin agar mudah diidentifikasi, dan misal ada anak didik yang ketriwal jadi mudah ditemukan. Singkong adalah jujugan saya. Sebuah toko cina yang kadung kondang murah dan lengkap.
Tapi bukan itu semua inti cerita, bukan fafa atau singkong. Saat antre mendapatkan pelayanan, ada sebuah cerita lucu atau dagelan. Ketawa saya mungkin mirip-mirip bapak presiden yang dihibur parto dan kawan-kawan.
Seorang tukang becak yang mangkal tepat di depan singkong ditegur oleh cik pemilik kios.
“Pak, celananya bolong. Itu kelihatan”, cik itu mencoba memperingatkan.
“Ah, ya nggak lah. Nggak kok”, si tukang becak cepat-cepat membantah tanpa kroscek celananya terlebih dahulu. Barulah beberapa detik kemudian dia melirik kebawah mencari kesempatan sepersekian detik untuk mencari kebenaran. Sama sepersekian detiknya juga dengan kesempatan yang dia berikan pada bibirnya untuk tertawa. Lalu, menaukidi dengan bilang “nggak bolonglah nggak bolonglah” meski jelas-jelas celananya bolong dan kelihatan celana dalamnya.
Si cik kemudian berlalu dan tidak mempersoalkan lama-lama. Sementara si tukang becak kini sudah berganti posisi dengan perlindungan diri yang lebih baik. Mulanya posisinya percaya diri bin menantang alias mekangkang. Kali ini, kakinya agak miring sehingga objek permasalahannya dengan si cik sudah tidak terekspos lagi. Kesalahannya musti segera ditutupi agar tidak menarik perhatian lebih banyak orang.
‘Ah Dasar’ mungkin gerutu si Tukang Becak. Meskipun tukang becak, tetap saja ia berhak merasa harga dirinya terinjak-injak ketika seorang perempuan tanpa basa-basi mengingatkan hal itu di depan banyak orang. Apalagi berkaitan dengan si ‘Anu’. Ini berkaitan dengan harga diri seorang lelaki.
Beberapa saat kemudian si Tukang becak memejamkan mata. Antara tidur atau pura-pura tidur susah dibedakan karena di dalam becak itu kini hanya tersisa sunyi. Mungkin dia ingin cepat-cepat membuang kegundahannya yang sederhana. Dia ingin cepat-cepat melupakan Indonesia, si Anu dan Mak Cik. Mungkin juga dia berharap, dalam pejamnya ia segera berpindah ke Amrik. Melakukan kunjungan kenegaraan, meneliti gaya dan model becak disana.
Aih, sekarang biarkan Mak Cik itu mesam-mesem melihat si Tukang Becak. Biarkan juga si Tukang Becak tidur setengah nikmat. Kalaupun di tengah ketidak sadarannya kakinya tiba-tiba berpindah posisi dan si ‘Sempak’ kembali ter ekspos, toh dia tinggal bilang tidak. Si Tukang becak saja punya hak bilang tidak berkali-kali, apalagi Anggota Dewan Yang Terhormat.

About the Author

MbahDoyok

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Majalah Nahdliyyin © 2015 - Designed by Templateism.com, Plugins By MyBloggerLab.com