Bertahun-tahun yang lalu ketika masih menjadi Monster Jackers saya terkesan urakan. Ke jogja, nonton konser di barisan paling depan. Tangan wajib memegang pagar pembatas. Berteriak paling kencang. Saat kepanasan langsung mbengok“Air. Airrr. Airr”. Selang raksasa diacungkan tinggi-tinggi, kemudian tak menunggu lama air pun memancar. Nikmatnya seperti hujan. Berjoget ria hingga kalap. Tengah malam di penghujung konser pun tak lagi ada tenaga. Tergeletak di lapangan begitu saja. Lemas. Tapi Nikmat.
Beberapa tahun kemudian siapa sangka genre perasaan berubah total. Yang tadinya dipenuhi dengan hentakan drum, lalu tiba-tiba saja dipenuhi dengan dung-tak dung-tak rebana. Mengenal Habib Syekh lalu Syekhermania (Bukti sholawat pun tak ketinggalan jaman, ada monster jackers, slankers, maka harus ada syekher :v). Perkenalan awalpun begitu menggoda. Saya menyerodok hingga barisan paling depan karena menuruti penasaran. Lebih depan dari grup hadroh, bahkan tukang suting pun masih ada di belakang saya.
Hampir semua lagu tidak bisa saya dendangkan. Melongo, melotot kedepan ke panggung yang persis ada di depan saya. Bukan lagi sebatas pagar yang tersentuh, tapi kali ini sang penyanyi hanya berjarak beberapa meter saja. Di belakang saya ratusan bahkan mungkin ribuan santri bersholawat bersama-sama. Semuanya berbaju putih. Semuanya berpeci putih. Kecuali tukang suting dan saya yang menggunakan jaket blontang-blontang. Merindiiing. Entah nuansa apa. Saat itu juga saya jatuh cinta. Saat itu juga saya tidak ke jogja lali untuk moshing.
Pergantian genre ini tidak serta merta langsung merubah seluruh kebiasaan. Tubuh ini kadang reaktif berlebihan ketika mengunjungi Habib Syekh dari kota ke kota. Goyang ke kanan dan ke kiri begitu nikmat (menurut versi saya). Tangan di angkat ke atas mengikuti irama lagu. Keringat kecut mengucur kemana-mana.
Seorang syekher senior dengan sangat bijak sekali pernah menegur,
“Sholawat itu bukan seperti itu. Sholawat bukan seperti nonton konser. Mosok sholawat kok gak ada sopan-sopannya kepada kanjeng Nabi”
Aihh, hati ini langsung deg-deg an. Yang tadinya mulai suka sholawat jadi takut mendadak. Yang tadinya mulai menemukan ketenangan baru jadi terusik. Perasaan tidak pantas berbuat baik menghantui. Aku ini harus bagaimana?
Tapi kemudian perlahan saya teringat Rumi,
Air berkata kepada yang kotor, “Kemarilah.” Maka yang kotor akan berkata, “Aku sungguh malu.” Air berkata, “Bagaimana malumu akan dapat dibersihkan tanpa aku?”
Kata-kata Rumi inilah yang membuat saya kuat kembali meski cara bersholawat saya dikritik habis-habisan. Dia boleh kaget dengan cara bersholawat yang edanini. Tapi saya tidak boleh ikut kagetan. Dia boleh gumun dan mencak-mencak karena genre bersholawat yang aneh ini. Tapi saya tidak boleh gumunan dengan adanya orang-orang yang tebang habis keburukan karena dia merasa punya bibit-bibit kebaikan yang ideal.
Saat ini saya memang belum bisa menangis dan menjadikan air mata sebagai bukti kecintaan kepada Nabi. Saat ini cuma ada air keringat hasil aksi ugal-ugalan saat bersholawat. Cuma itu bukti cinta saya kepada Kanjeng Nabi. Kecut lagi.
0 komentar:
Posting Komentar